(Part
1)
“Kalau
memang hatimu bukan untukku, mengapa kau harus hadir untuk mengusik hidupku?”
Menurutku, pagi ini sama seperti pagi-pagi yang lain. Tak
ada sesuatu yang mengejutkan, entah dalam arti kebahagiaan ataupun kesedihan.
Seperti biasa aku terbangun oleh alarm yang selalu mengagetkanku. Lebih
tepatnya, mengganggu mimpi indahku. Tak lupa, aku mengecek ponselku. Memastikan
apakah ada pesan yang dia tinggalkan untukku atau tidak. Ternyata, dia memang
tidak pernah berubah. Selalu lupa untuk menyapaku di pagi hari dan selalu
membuatku menyapanya terlebih dahulu. Sebenarnya aku tak keberatan bila hanya
menyapa duluan, namun terkadang aku jenuh. Menurutku, aku berhak untuk disapa
duluan seperti layaknya pasangan yang lain. Bukankah.. memang seharusnya
begitu?
“Pagi mas”, sapaku seperti biasa lewat akun socmed ku. Tak
berselang lama, dia pun membalas, “Pagi juga dek”. Uhh, ini lagi ini lagi jawabannya, tak ada jawaban lain apa ,
gerutuku. Jujur, aku benar-benar bosan dengan kedekatan kami selama yaa sebut
saja 7 bulan ini. Bahkan, aku tak yakin apakah kami berdua benar-benar dekat
atau tidak. Satu hal yang tidak kusuka darinya adalah dia terlalu datar untuk
diajak berkomunikasi. Dia pasif. Sangat pasif.
“Umm dek, kalo nanti kamu mau main ke kelasku, main aja.”
“Okeey, kalau sempat ya, tetapi, aku tak yakin ada waktu. Tenang, tetap aku
usahakan kok.” “Terimakasih dek. Aku ke
kelas duluan ya.” “Iya, silahkan. Sampai ketemu nanti!”, ucapku sambil berlalu
meninggalkan kelasnya dan tak lupa aku melambaikan tangan padanya. Kelas kami
bersebelahan. Dia sudah XII, sedangkan aku masih kelas XI. Selisih umur kami?
Kami berbeda 2 tahun, tapi itu tak masalah bagiku. Karena yang penting bagi
setiap kedekatan adalah kenyamanan, bukankah begitu?
“Kak, mas Rian ada?” “Oh, Rian? Hmm sepertinya dia pulang
duluan dek.” “Yang benar kak? Oh yasudah deh, terimakasih kak.” “Iya, sama-sama
dek.”, ucapnya sambil kembali masuk ke kelasnya. Pulang duluan? Setega itu kah dia? Ah, mungkin dia sedang terburu-buru.
Tak apa, toh aku bisa pulang sendiri, pikirku. Aku heran dengan dia hari
ini. Tak biasanya dia mengundangku ke kelasnya. Biasanya dia yang ke kelasku
dan lebih seringnya kami bertemu di koridor atau kantin. Selain itu, dia juga
tak biasanya pulang duluan. Ya meskipun dia sering dan amat sering tak pulang
bersamaku, tapi setidaknya dia biasanya mengabariku bukan hilang begitu saja
seperti ini.
“Mas, kamu dimana?” “Umm, maaf dek aku... sakit jadi tadi
aku keburu-buru pulang. Maaf ya.” “Perlu aku tengok?” “Jangan-jangan, dirumah
tak ada orang.” “Lho, tapi kan ada kamu mas? Kamu pulang ke rumah kan?” “Iya,
eh umm tapi aku.. sebenarnya.” “Sebenarnya apa?” ‘Riaan, ayo cepetan main lawan aku, ngapain sih malah telfonan mulu’ ,
suara dari seberang sana yang agak samar-samar tetapi aku yakin, itu adalah
suara temannya. “Mas dimana sih? Mas main? Bilang dong kalo main, lagian aku
kan juga gak bakalan ngelarang.” “Eh umm iya dek. Maaf, jadi aku... aku...
sebenernya lagi di timezone. Bye.” Tut
tut tut tut. Dia membohongiku, iya, dia membohongiku. Untuk kesekian,
kepuluhan, keratusan, bahkan mungkin keribuan kali. Sakit. Sakit sekali hati
ini sebenarnya melihat sikap dia yang bahkan sama sekali tidak pernah
menganggapku. Untuk apa dia mengejarku jika memang dia tak ingin menganggap
hadirku nantinya?
“Udah pulang?” , pesan yang kukirimkan padanya di suatu
senja.
Satu jam berlalu, dua jam, tiga jam, empat jam dan kini
sudah pukul 9 malam. Dia belum membalasku, untuk membacanya pun tidak.
Tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk membuka akun twitternya. Satu hal yang
membuatku kaget, dia online twitter, menulis status, bahkan bertukar pesan
dengan gebetannya semasa SMP, namun dia tidak menggubrisku sama sekali. Sebenarnya, yang teman dekatnya itu aku atau
teman SMP nya sih?
Aku rapuh. Sungguh rapuh. Kebetulan, hari ini aku harus
mengikuti UTS hingga seminggu ke depan. Yasudah,
aku belajar saja deh. Nanti juga kalau butuh, dia akan sms aku, pikirku.
Aku mulai membuka bukuku lembar demi lembar untuk mengingat kembali
materi-materi yang sebenarnya sudah selesai kupelajari, namun masih ingin aku
mantapkan lagi.
Bip bip. Bip bip.
“Wah, ada sms rupanya, mungkin dari dia” , ucapku dengan bersemangat. “Dek, aku
boleh ngomong sesuatu?” “Tentu saja, ada apa?” “Boleh minta tolong?” “Tolong
apa? Kalau aku mampu, pasti aku bantu. Ada apa?” “Tolong lupain aku. Aku gamau
kamu inget-inget aku lagi.” “Lho, ada apa sih? Aku nggak ngerti.” “Aku mau kamu
lupain aku, jangan inget-inget aku lagi. Hapus semua tentang kita. Kamu tau?
Ketika seseorang kecelakaan terus sahabat tercintanya meninggal, lama-lama dia
akan melupakan hal itu, bahkan suatu saat nanti dia akan lupa dengan kejadian
itu. Tapi, apabila dia buka album foto dirinya bersama sahabatnya itu, tentu
dia akan teringat akan kejadian itu, dan luka lama itu kembali terbuka. Perih
rasanya. Kamu tau maksudku kan? Aku mau kamu lupain aku, hapus semua tentang
aku, jangan sampai suatu saat nanti, kamu liat kenangan kita, terus lukamu yang
udah aku buat itu terbuka lagi. Aku mau kamu lupain aku. Selamanya.”
“Aku salah apa mas?” “Sudahlah, pokoknya kita kayak gak
kenal ya, aku akan ngelupain kamu. Bagiku, kamu cuma adik kelasku yang sama
kayak teman-temanmu yang lain, tidak lebih spesial.”
*Flashback 7 bulan
yang lalu
Cowok : Pagiii dek
Cewek : Pagii kakk
Cowok : dek, umm mau ga jadi pacarku? (Memakai bahasa
jepang)
1 hari kemudian
Cewek : Ah akhirnya aku tau artinyaa, kalo aku jawab iya
gimana? Kalo enggak gimana?
Cowok : Engga jadi dek. Aku gamau. Aku mau berteman aja sama
kamu. Aku mau kamu jadi adik terspesial buat aku. Aku gamau kamu sedih karena
aku nantinya, aku gamau liat kamu nangis, aku gamau ngecewain kamu nantinya.
Aku juga belum siap pacaran. Kita akan dekat, kita akan jalan kemana-mana
bareng, tapi kita cuma adik kakak, tidak lebih.
Cewek : Iya, tidak apa-apa J
*Flashback selesai
Aku jadi teringat awal kedekatan kami. Sejak itulah kami
dekat, memang kami tak ada status pacaran, hanya kakak adik, tetapi, kedekatan
kami seperti orang pacaran. Saling support, dan bahkan orang tua ku pun sudah
mengenal dia. Sejak dia memutuskan aku secara sepihak waktu itu, kami sudah
tidak pernah bertegur sapa. Kami benar-benar saling tidak kenal. Saling melihat
pun juga tidak pernah. Kami benar-benar hanya seperti senior dan junior yang
tak tahu satu sama lain.
“Aku selalu membenci perpisahan. Mengapa harus ada pertemuan
bila pada akhirnya dipisahkan?”
Kini aku sadar. Pertanyaanku itu salah. Tuhan telah berbaik
hati mengajarkan kita hal baru melalui lelaki itu. Terimakasih Tuhan, Kau telah
memberiku sekeping pengalaman yang mungkin terdengar pahit, tapi menjadikanku
orang lebih kuat dari hari yang lalu. Kini akupun telah belajar apa itu cinta,
dan apa itu sakit hati melalui lelaki itu. Terimakasih Rian, kau telah mengajarkan aku tentang cinta. Terimakasih.