Kamis, 18 Juni 2015

Tangisku di Bawah Senja


(Part 1)

“Kalau memang hatimu bukan untukku, mengapa kau harus hadir untuk mengusik hidupku?”

Menurutku, pagi ini sama seperti pagi-pagi yang lain. Tak ada sesuatu yang mengejutkan, entah dalam arti kebahagiaan ataupun kesedihan. Seperti biasa aku terbangun oleh alarm yang selalu mengagetkanku. Lebih tepatnya, mengganggu mimpi indahku. Tak lupa, aku mengecek ponselku. Memastikan apakah ada pesan yang dia tinggalkan untukku atau tidak. Ternyata, dia memang tidak pernah berubah. Selalu lupa untuk menyapaku di pagi hari dan selalu membuatku menyapanya terlebih dahulu. Sebenarnya aku tak keberatan bila hanya menyapa duluan, namun terkadang aku jenuh. Menurutku, aku berhak untuk disapa duluan seperti layaknya pasangan yang lain. Bukankah.. memang seharusnya begitu?

“Pagi mas”, sapaku seperti biasa lewat akun socmed ku. Tak berselang lama, dia pun membalas, “Pagi juga dek”. Uhh, ini lagi ini lagi jawabannya, tak ada jawaban lain apa , gerutuku. Jujur, aku benar-benar bosan dengan kedekatan kami selama yaa sebut saja 7 bulan ini. Bahkan, aku tak yakin apakah kami berdua benar-benar dekat atau tidak. Satu hal yang tidak kusuka darinya adalah dia terlalu datar untuk diajak berkomunikasi. Dia pasif. Sangat pasif.

“Umm dek, kalo nanti kamu mau main ke kelasku, main aja.” “Okeey, kalau sempat ya, tetapi, aku tak yakin ada waktu. Tenang, tetap aku usahakan kok.”  “Terimakasih dek. Aku ke kelas duluan ya.” “Iya, silahkan. Sampai ketemu nanti!”, ucapku sambil berlalu meninggalkan kelasnya dan tak lupa aku melambaikan tangan padanya. Kelas kami bersebelahan. Dia sudah XII, sedangkan aku masih kelas XI. Selisih umur kami? Kami berbeda 2 tahun, tapi itu tak masalah bagiku. Karena yang penting bagi setiap kedekatan adalah kenyamanan, bukankah begitu?

“Kak, mas Rian ada?” “Oh, Rian? Hmm sepertinya dia pulang duluan dek.” “Yang benar kak? Oh yasudah deh, terimakasih kak.” “Iya, sama-sama dek.”, ucapnya sambil kembali masuk ke kelasnya. Pulang duluan? Setega itu kah dia? Ah, mungkin dia sedang terburu-buru. Tak apa, toh aku bisa pulang sendiri, pikirku. Aku heran dengan dia hari ini. Tak biasanya dia mengundangku ke kelasnya. Biasanya dia yang ke kelasku dan lebih seringnya kami bertemu di koridor atau kantin. Selain itu, dia juga tak biasanya pulang duluan. Ya meskipun dia sering dan amat sering tak pulang bersamaku, tapi setidaknya dia biasanya mengabariku bukan hilang begitu saja seperti ini.

“Mas, kamu dimana?” “Umm, maaf dek aku... sakit jadi tadi aku keburu-buru pulang. Maaf ya.” “Perlu aku tengok?” “Jangan-jangan, dirumah tak ada orang.” “Lho, tapi kan ada kamu mas? Kamu pulang ke rumah kan?” “Iya, eh umm tapi aku.. sebenarnya.” “Sebenarnya apa?” ‘Riaan, ayo cepetan main lawan aku, ngapain sih malah telfonan mulu’ , suara dari seberang sana yang agak samar-samar tetapi aku yakin, itu adalah suara temannya. “Mas dimana sih? Mas main? Bilang dong kalo main, lagian aku kan juga gak bakalan ngelarang.” “Eh umm iya dek. Maaf, jadi aku... aku... sebenernya lagi di timezone. Bye.” Tut tut tut tut. Dia membohongiku, iya, dia membohongiku. Untuk kesekian, kepuluhan, keratusan, bahkan mungkin keribuan kali. Sakit. Sakit sekali hati ini sebenarnya melihat sikap dia yang bahkan sama sekali tidak pernah menganggapku. Untuk apa dia mengejarku jika memang dia tak ingin menganggap hadirku nantinya?

“Udah pulang?” , pesan yang kukirimkan padanya di suatu senja.
Satu jam berlalu, dua jam, tiga jam, empat jam dan kini sudah pukul 9 malam. Dia belum membalasku, untuk membacanya pun tidak. Tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk membuka akun twitternya. Satu hal yang membuatku kaget, dia online twitter, menulis status, bahkan bertukar pesan dengan gebetannya semasa SMP, namun dia tidak menggubrisku sama sekali. Sebenarnya, yang teman dekatnya itu aku atau teman SMP nya sih?  

Aku rapuh. Sungguh rapuh. Kebetulan, hari ini aku harus mengikuti UTS hingga seminggu ke depan. Yasudah, aku belajar saja deh. Nanti juga kalau butuh, dia akan sms aku, pikirku. Aku mulai membuka bukuku lembar demi lembar untuk mengingat kembali materi-materi yang sebenarnya sudah selesai kupelajari, namun masih ingin aku mantapkan lagi.

Bip bip. Bip bip. “Wah, ada sms rupanya, mungkin dari dia” , ucapku dengan bersemangat. “Dek, aku boleh ngomong sesuatu?” “Tentu saja, ada apa?” “Boleh minta tolong?” “Tolong apa? Kalau aku mampu, pasti aku bantu. Ada apa?” “Tolong lupain aku. Aku gamau kamu inget-inget aku lagi.” “Lho, ada apa sih? Aku nggak ngerti.” “Aku mau kamu lupain aku, jangan inget-inget aku lagi. Hapus semua tentang kita. Kamu tau? Ketika seseorang kecelakaan terus sahabat tercintanya meninggal, lama-lama dia akan melupakan hal itu, bahkan suatu saat nanti dia akan lupa dengan kejadian itu. Tapi, apabila dia buka album foto dirinya bersama sahabatnya itu, tentu dia akan teringat akan kejadian itu, dan luka lama itu kembali terbuka. Perih rasanya. Kamu tau maksudku kan? Aku mau kamu lupain aku, hapus semua tentang aku, jangan sampai suatu saat nanti, kamu liat kenangan kita, terus lukamu yang udah aku buat itu terbuka lagi. Aku mau kamu lupain aku. Selamanya.”
“Aku salah apa mas?” “Sudahlah, pokoknya kita kayak gak kenal ya, aku akan ngelupain kamu. Bagiku, kamu cuma adik kelasku yang sama kayak teman-temanmu yang lain, tidak lebih spesial.”

*Flashback 7 bulan yang lalu

Cowok : Pagiii dek
Cewek : Pagii kakk
Cowok : dek, umm mau ga jadi pacarku? (Memakai bahasa jepang)

1 hari kemudian

Cewek : Ah akhirnya aku tau artinyaa, kalo aku jawab iya gimana? Kalo enggak gimana?
Cowok : Engga jadi dek. Aku gamau. Aku mau berteman aja sama kamu. Aku mau kamu jadi adik terspesial buat aku. Aku gamau kamu sedih karena aku nantinya, aku gamau liat kamu nangis, aku gamau ngecewain kamu nantinya. Aku juga belum siap pacaran. Kita akan dekat, kita akan jalan kemana-mana bareng, tapi kita cuma adik kakak, tidak lebih.
Cewek : Iya, tidak apa-apa J

*Flashback selesai

Aku jadi teringat awal kedekatan kami. Sejak itulah kami dekat, memang kami tak ada status pacaran, hanya kakak adik, tetapi, kedekatan kami seperti orang pacaran. Saling support, dan bahkan orang tua ku pun sudah mengenal dia. Sejak dia memutuskan aku secara sepihak waktu itu, kami sudah tidak pernah bertegur sapa. Kami benar-benar saling tidak kenal. Saling melihat pun juga tidak pernah. Kami benar-benar hanya seperti senior dan junior yang tak tahu satu sama lain.

“Aku selalu membenci perpisahan. Mengapa harus ada pertemuan bila pada akhirnya dipisahkan?”

Kini aku sadar. Pertanyaanku itu salah. Tuhan telah berbaik hati mengajarkan kita hal baru melalui lelaki itu. Terimakasih Tuhan, Kau telah memberiku sekeping pengalaman yang mungkin terdengar pahit, tapi menjadikanku orang lebih kuat dari hari yang lalu. Kini akupun telah belajar apa itu cinta, dan apa itu sakit hati melalui lelaki itu. Terimakasih Rian, kau telah mengajarkan aku tentang cinta. Terimakasih.